Atas Nama Allah, aku mengawali tulisan ini agar semua urusan walau berupa tulisan yang bisa dibaca atau dilihat ini menjadi berkah. Karena mengatasnamakan sesuatu atas Nama Allah artinya menunjukkan sebuah ketawadhuan kita akan rendahnya kita di hadapan Allah Azza Wajalla (faidzaa 'azamta fatawakkal alallah).
Tulisan ini sebenarnya adalah kumpulan-kumpulan catatan kecil dari berbagai referensi untuk meninterpretasikan makna Zaara Qurrota Ainy.
Zaara Qurrota Ainy sebenarnya sebuah kata ambigu antara akronim dan secercah harapan untuk mewujudkan tatanan rumah tangga yang sakinah mawaddah warohmah. Zaara adalah gabungan dari Jalaludin dan Herawati. Jauh memang, makhroj "Zai" ke "Jim"dari Thorfullisaan wamin fauqitstsanaayal 'ulya ke wastullisaan. Tapi peralihan makhroj itu bukanlah sesuatu yang harus dibahas secara serius karena konteksya pada tulisan ini bukan ingin membahas ilmu tajwid, tapi sebuah ambiguitas yang ingin saya interpretasikan.
Zaara adalah kalimat fi'il madhi bina ajwaf, artinya berkunjung secara harfiah. Saya mengartikan zaara ini sebuah perjalanan zhahir dan bathin menuju kehidupan keluarga yang sakinah mawaddah warohmah.
Sedangkan ma'na Qurrota ainy yang dinisbatkan kepada kepemilikan adalah keturunan yang mengerjakan ketha’atan, sehingga dengan
ketha’atannya itu membahagian orang tuanya di dunia dan akhirat, demikian menurutb Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhu.
Keturunan yang tha’at pada Allah akan menyenangkan orang tua dengan
bakti dan pelayanannya. Akan menyejukkan hati orang tua dan keluarga
dengan membacakan dan mengajarkan mereka mentadabburi al-Quran dan
as-Sunnah. Keturunan yang taat pada Allah juga lebih bisa diharapkan
menjaga keutuhan keluarga di atas agama yang mulia ini dan lebih bisa
diharapkan doanya dikabulkan Allah untuk kebaikan orang tua dan
keluarga.
Imam Hasan Al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau berkata, “Allah
akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman, demi Allah tidak ada
sesuatupun yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang muslim dari
pada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang
dicintainya tha’at kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Imam Qurthubi menjelaskan makna “Qurrata A’yunin” Sesungguhnya
jika manusia diberi berkah dalam harta dan anaknya, maka matanya
menunjukkan kebahagiaan karena keluarga dan kerabatnya. Sehingga ketika
ia mempunyai seorang isteri niscaya berkumpul di dalam dirinya
angan-angan kepada istrinya berupa: kecantikan, harga diri, pandangan,
dan kewaspadaan. Jika ia memilki keturunan yang senantiasa menjaga
ketha’atan dan membantunya dalam menunaikan tugas-tugas agama dan
keduniaan, serta tidak berpaling kepada suami yang lain, dan tidak pula
kepada anak yang lain. Sehingga matanya menjadi tenang dan tidak
berpaling kepada yang lainnya, maka itulah kebahagiaan mata dan
ketenangan jiwa.
Perintah Allah menciptakan generasi penyejuk jiwa :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَة
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS At-Tahrim : 6).
Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “Maknanya yaitu ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu.”
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Memelihara diri
(dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat
dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun
memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik
dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka
untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan
selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar)
melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan
pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar